Terorisme
Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang
bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda
dengan perang,
aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan
yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali
merupakan warga sipil.
Pengertian Terorisme
Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan
merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang
dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi
terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan
tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu
para pelakunya ("teroris") layak mendapatkan pembalasan yang kejam.
Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan
"teroris" dan "terorisme", para teroris umumnya menyebut
diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, pasukan perang salib,
militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata
terrorism : "Makna sebenarnya dari jihad, mujahidinadalah
jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak
terlibat dalam perang". Padahal Terorisme sendiri sering tampak dengan
mengatasnamakan agama.
Selain oleh pelaku individual, terorisme bisa dilakukan oleh
negara atau dikenal dengan terorisme negara (state terorism). Misalnya seperti
dikemukakan olehNoam Chomsky yang menyebut Amerika
Serikat ke dalam kategori itu. Persoalan standar
ganda selalu mewarnai berbagai penyebutan yang awalnya bermula dari
Barat. Seperti ketika Amerika Serikat banyak menyebut teroris terhadap berbagai
kelompok di dunia, di sisi lain liputan media menunjukkan fakta bahwa Amerika
Serikat melakukan tindakan terorisme yang mengerikan hingga melanggar konvensi yang
telah disepakati.
Terorisme di dunia
Terorisme di dunia bukanlah
merupakan hal baru, namun menjadi aktual terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade
Center (WTC) di New
York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai “September
Kelabu”, yang memakan 3000 korban. Serangan dilakukan melalui udara, tidak
menggunakan pesawat tempur, melainkan menggunakan pesawat komersil milik
perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika Serikat.
Tiga pesawat komersil milik Amerika Serikat dibajak, dua di antaranya
ditabrakkan ke menara kembar Twin
Towers World Trade Centre dan
gedungPentagon.
Berita jurnalistik seolah menampilkan gedung World Trade Center
dan Pentagon sebagai korban utama penyerangan ini. Padahal, lebih dari itu,
yang menjadi korban utama dalam waktu dua jam itu mengorbankan kurang lebih
3.000 orang pria, wanita dan anak-anak yang terteror, terbunuh, terbakar, meninggal,
dan tertimbun berton-ton reruntuhan puing akibat sebuah pembunuhan massal yang
terencana. Akibat serangan teroris itu, menurut Dana Yatim-Piatu Twin Towers,
diperkirakan 1.500 anak kehilangan orang tua. Di Pentagon, Washington, 189 orang tewas, termasuk para
penumpang pesawat, 45 orang tewas dalam pesawat keempat yang jatuh di daerah
pedalaman Pennsylvania. Para teroris mengira bahwa penyerangan yang dilakukan
ke World Trade Center merupakan penyerangan terhadap "Simbol
Amerika". Namun, gedung yang mereka serang tak lain merupakan institusi
internasional yang melambangkan kemakmuran ekonomi dunia. Di sana terdapat
perwakilan dari berbagai negara, yaitu terdapat 430 perusahaan dari 28 negara.
Jadi, sebetulnya mereka tidak saja menyerang Amerika Serikat tapi juga dunia. Amerika Serikat menduga Osama bin
Laden sebagai tersangka utama pelaku penyerangan tersebut.
Kejadian ini merupakan isu global yang memengaruhi kebijakan
politik seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi
untuk memerangi Terorisme sebagai musuh internasional. Pembunuhan massal
tersebut telah mempersatukan dunia melawan Terorisme Internasional. Terlebih lagi dengan diikuti
terjadinya Tragedi Bali, tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan tindakan teror,
menimbulkan korban sipil terbesar di dunia yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang. Perang terhadap
Terorisme yang dipimpin oleh Amerika, mula-mula mendapat sambutan dari
sekutunya di Eropa.
Pemerintahan Tony Blair termasuk
yang pertama mengeluarkan Anti
Terrorism, Crime and
Security Act, December 2001, diikuti tindakan-tindakan dari negara-negara
lain yang pada intinya adalah melakukan perang atas tindak Terorisme di dunia,
seperti Filipina dengan mengeluarkan Anti Terrorism Bill.
Definisi Terorisme
Banyak pendapat yang mencoba
mendefinisikan Terorisme, satu di antaranya adalah pengertian yang tercantum
dalam pasal 14 ayat 1 The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) act,
1984, sebagai berikut: “Terrorism means the use of violence for
political ends and includes any use of violence for the purpose putting the
public or any section of the public in fear.”
Kegiatan Terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain merasa ketakutan
sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok atau suatu
bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada jalan lain yang
dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya. Terorisme digunakan sebagai
senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu serta
menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan
memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati kehendak pelaku teror. Terorisme tidak ditujukan langsung
kepada lawan, akan tetapi perbuatan teror justru dilakukan dimana saja dan terhadap siapa saja. Dan yang
lebih utama, maksud yang ingin disampaikan oleh pelaku teror adalah agar
perbuatan teror tersebut mendapat perhatian yang khusus atau dapat dikatakan
lebih sebagai psy-war.
Sejauh ini belum ada batasan yang baku untuk mendefinisikan apa
yang dimaksud dengan Terorisme. Menurut Prof.
M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak
mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara
universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut.
Sedangkan menurut Prof.
Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan yang subjektif, hal mana didasarkan atas siapa yang
memberi batasan pada saat dan kondisi tertentu.
Belum tercapainya kesepakatan mengenai apa pengertian terorisme
tersebut, tidak menjadikan terorisme dibiarkan lepas dari jangkauan hukum.
Usaha memberantas Terorisme tersebut telah dilakukan sejak menjelang
pertengahan abad ke-20. Pada tahun 1937 lahir Konvensi Pencegahan dan
Penghukuman Terorisme (Convention
for The Prevention and Suppression of Terrorism),dimana Konvensi ini mengartikan terorisme
sebagai Crimes against State.
Melalui European Convention on The Supression of Terrorism (ECST) tahun 1977 di
Eropa, makna Terorisme mengalami suatu pergeseran dan perluasan paradigma,
yaitu sebagai suatu perbuatan yang semula dikategorikan sebagai Crimes against State (termasuk pembunuhan dan percobaan
pembunuhan Kepala Negara atau anggota keluarganya), menjadi Crimes against Humanity, dimana yang menjadi korban adalah masyarakat
sipil. Crimes against Humanity masuk kategori Gross Violation of Human Rights (Pelanggaran HAM Berat) yang dilakukan
sebagai bagian yang meluas/sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih diarahkan pada
jiwa-jiwa orang tidak bersalah (Public by innocent), sebagaimana terjadi di Bali.
Terorisme kian jelas menjadi momok bagi peradaban modern. Sifat
tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta
dicapai, target-target serta metode Terorisme kini semakin luas dan bervariasi.
Sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan
destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan
keamanan umat manusia (crimes
against peace and security of mankind).
Menurut Muladi, Tindak Pidana Terorisme dapat dikategorikan sebagai mala per se atau mala in se , tergolong kejahatan terhadap hati
nurani (Crimes against conscience), menjadi sesuatu yang jahat bukan karena
diatur atau dilarang oleh Undang-Undang, melainkan karena pada dasarnya tergolong
sebagai natural wrong atau acts
wrong in themselves bukan
mala prohibita yang tergolong kejahatan karena diatur demikian oleh
Undang-Undang.
Dalam rangka mencegah dan memerangi Terorisme tersebut, sejak jauh
sebelum maraknya kejadian-kejadian yang digolongkan sebagai bentuk Terorisme
terjadi di dunia, masyarakat internasional maupun regional serta pelbagai
negara telah berusaha melakukan kebijakan kriminal (criminal policy) disertai kriminalisasi secara
sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai
Terorisme.
Pemberantasan
Terorisme di Indonesia
Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu
tindak Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia
sebagai akibat dari Tragedi Bali, merupakan kewajiban pemerintah untuk
secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme itu dengan memidana pelaku
dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut. Hal ini menjadi prioritas
utama dalam penegakan hukum. Untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat
hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme. Menyadari hal ini dan
lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai
untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang
pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun
2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Keberadaan Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di samping KUHP dan Undang-Undang Nomor 8
tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merupakan Hukum Pidana Khusus.
Hal ini memang dimungkinkan, mengingat bahwa ketentuan Hukum Pidana yang
bersifat khusus, dapat tercipta karena:
1.
Adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan
tertentu di dalam masyarakat. Karena pengaruh perkembangan zaman, terjadi
perubahan pandangan dalam masyarakat. Sesuatu yang mulanya dianggap bukan
sebagai Tindak Pidana, karena perubahan pandangan dan norma di masyarakat,
menjadi termasuk Tindak Pidana dan diatur dalam suatu perundang-undangan Hukum
Pidana.
2.
Undang-Undang yang ada
dianggap tidak memadai lagi terhadap perubahan norma dan perkembangan teknologi
dalam suatu masyarakat, sedangkan untuk perubahan undang-undang yang telah ada
dianggap memakan banyak waktu.
3.
Suatu keadaan yang
mendesak sehingga dianggap perlu diciptakan suatu peraturan khusus untuk segera
menanganinya.
4.
Adanya suatu perbuatan
yang khusus dimana apabila dipergunakan proses yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang telah ada akan mengalami kesulitan dalam
pembuktian.
Sebagai Undang-Undang khusus, berarti Undang-Undang Nomor 15 tahun
2003 mengatur secara materiil dan formil sekaligus, sehingga terdapat
pengecualian dari asas yang secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP)/Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ''(lex specialis derogat lex generalis)''. Keberlakuan lex specialis derogat lex generalis, harus memenuhi kriteria[16]:
1.
bahwa pengecualian
terhadap Undang-Undang yang bersifat umum, dilakukan oleh peraturan yang
setingkat dengan dirinya, yaitu Undang-Undang.
2.
bahwa pengecualian
termaksud dinyatakan dalam Undang-Undang khusus tersebut, sehingga
pengecualiannya hanya berlaku sebatas pengecualian yang dinyatakan dan bagian
yang tidak dikecualikan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
pelaksanaan Undang-Undang khusus tersebut.
Sedangkan kriminalisasi Tindak Pidana Terorisme sebagai bagian
dari perkembangan hukum pidana dapat dilakukan melalui banyak cara, seperti:
1.
Melalui sistem evolusi
berupa amandemen terhadap pasal-pasal
KUHP.
2.
Melalui sistem global
melalui pengaturan yang lengkap di luar KUHP termasuk kekhususan hukum
acaranya.
3.
Sistem kompromi dalam
bentuk memasukkan bab baru dalam KUHP tentang kejahatan terorisme.
Akan tetapi tidak berarti bahwa dengan adanya hal yang khusus dalam
kejahatan terhadap keamanan negara berarti penegak hukum mempunyai wewenang
yang lebih atau tanpa batas semata-mata untuk memudahkan pembuktian bahwa
seseorang telah melakukan suatu kejahatan terhadap keamanan negara, akan tetapi
penyimpangan tersebut adalah sehubungan dengan kepentingan yang lebih besar
lagi yaitu keamanan negara yang harus dilindungi. Demikian pula susunan bab-bab
yang ada dalam peraturan khusus tersebut harus merupakan suatu tatanan yang
utuh. Selain ketentuan tersebut, pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) menyebutkan bahwa semua aturan termasuk asas yang terdapat dalam buku I
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berlaku pula bagi peraturan pidana di
luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) selama peraturan di luar Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut tidak mengatur lain.
Hukum Pidana khusus, bukan hanya mengatur hukum pidana materielnya
saja, akan tetapi juga hukum acaranya, oleh karena itu harus diperhatikan bahwa
aturan-aturan tersebut seyogyanya tetap memperhatikan asas-asas umum yang
terdapat baik dalam ketentuan umum yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) bagi hukum pidana materielnya sedangkan untuk hukum pidana
formilnya harus tunduk terhadap ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana/KUHAP).
Sebagaimana pengertian tersebut di atas, maka pengaturan pasal 25
Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, bahwa untuk menyelesaikan kasus-kasus Tindak Pidana Terorisme, hukum
acara yang berlaku adalah sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP).
Artinya pelaksanaan Undang-Undang khusus ini tidak boleh bertentangan dengan
asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana yang telah ada. Namun, pada
kenyataannya, terdapat isi ketentuan beberapa pasal dalam Undang-Undang
tersebut yang merupakan penyimpangan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara
Pidana. Penyimpangan tersebut mengurangi Hak Asasi Manusia, apabila
dibandingkan asas-asas yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Apabila memang
diperlukan suatu penyimpangan, harus dicari apa dasar penyimpangan tersebut,
karena setiap perubahan akan selalu berkaitan erat dengan Hak Asasi Manusia[20]. Atau mungkin karena sifatnya sebagai Undang-Undang
yang khusus, maka bukan penyimpangan asas yang terjadi di sini, melainkan
pengkhususan asas yang sebenarnya menggunakan dasar asas umum, namun
dikhususkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang khusus sifatnya yang diatur
oleh Undang-Undang Khusus tersebut.
Sesuai pengaturan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP), penyelesaian
suatu perkara Tindak Pidana sebelum masuk dalam tahap beracara di pengadilan,
dimulai dari Penyelidikan dan Penyidikan, diikuti dengan penyerahan berkas
penuntutan kepada Jaksa Penuntut Umum. Pasal 17 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana/KUHAP) menyebutkan bahwa perintah Penangkapan hanya dapat dilakukan
terhadap seseorang yang diduga keras telah melakukan Tindak Pidana berdasarkanBukti Permulaan yang cukup. Mengenai batasan dari pengertian
Bukti Permulaan itu sendiri, hingga kini belum ada ketentuan yang secara jelas
mendefinisikannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
menjadi dasar pelaksanaan Hukum Pidana. Masih terdapat perbedaan pendapat di
antara para penegak hukum. Sedangkan mengenai Bukti Permulaan dalam
pengaturannya pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme, pasal 26 berbunyi[:
1.
Untuk memperoleh Bukti
Permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap Laporan
Intelijen.
2.
Penetapan bahwa sudah
dapat atau diperoleh Bukti Permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan
Negeri.
3.
Proses pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan secara tertutup dalam waktu
paling lama 3 (tiga) hari.
4.
Jika dalam pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan adanya Bukti Permulaan yang
cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan dilaksanakan
Penyidikan.
Permasalahannya adalah masih terdapat kesimpang siuran tentang
pengertian Bukti Permulaan itu sendiri, sehingga sulit menentukan apakah yang
dapat dikategorikan sebagai Bukti Permulaan, termasuk pula Laporan Intelijen,
apakah dapat dijadikan Bukti Permulaan. Selanjutnya, menurut pasal 26 ayat 2, 3
dan 4 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, penetapan suatu Laporan Intelijen sebagai Bukti Permulaan dilakukan
oleh Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri melalui suatu proses/mekanisme
pemeriksaan (Hearing)secara tertutup. Hal itu mengakibatkan pihak
intelijen mempunyai dasar hukum yang kuat untuk melakukan penangkapan terhadap
seseorang yang dianggap melakukan suatu Tindak Pidana Terorisme, tanpa adanya
pengawasan masyarakat atau pihak lain mana pun. Padahal kontrol sosial sangat
dibutuhkan terutama dalam hal-hal yang sangat sensitif seperti perlindungan
terhadap hak-hak setiap orang sebagai manusia yang sifatnya asasi, tidak dapat
diganggu gugat.
Oleh karena itu, untuk mencegah kesewenang-wenangan dan ketidakpastian
hukum, diperlukan adanya ketentuan yang pasti mengenai pengertian Bukti
Permulaan dan batasan mengenai Laporan Intelijen, apa saja yang dapat
dimasukkan ke dalam kategori Laporan Intelijen, serta bagaimana sebenarnya
hakekat Laporan Intelijen, sehingga dapat digunakan sebagai Bukti Permulaan.
Terutama karena ketentuan pasal 26 ayat (1) tersebut memberikan wewenang yang
begitu luas kepada penyidik untuk melakukan perampasan kemerdekaan yaitu
penangkapan, terhadap orang yang dicurigai telah melakukan Tindak Pidana
Terorisme, maka kejelasan mengenai hal tersebut sangatlah diperlukan agar tidak
terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dengan dilakukannya penangkapan
secara sewenang-wenang oleh aparat, dalam hal ini penyidik.
Demikian pula perlu dirumuskan tentang pengaturan, cara mengajukan
tuntutan terhadap petugas yang telah salah dalam melakukan tugasnya, oleh
orang-orang yang menderita akibat kesalahan itu dan hak asasinya telah
terlanggar, karena banyak Pemerintah suatu negara dalam melakukan pencegahan
maupun penindakan terhadap perbuatan teror melalui suatu pengaturan
khusus yang bersifat darurat, dimana aturan darurat itu dianggap telah jauh melanggar
bukan saja hak seseorang terdakwa, akan tetapi juga terhadap Hak Asasi Manusia.
Aturan darurat sedemikian itu telah memberikan wewenang yang berlebih kepada
penguasa di dalam melakukan penindakan terhadap perbuatan teror.
Telah banyak negara-negara didunia yang mengorbankan Hak Asasi
Manusia demi pemberlakuan Undang-Undang Antiterorisme, termasuk hak-hak yang
digolongkan kedalam non-derogable rights, yakni hak-hak yang tidak boleh dikurangi
pemenuhannya dalam keadaan apapun. Undang-Undang Antiterorisme kini diberlakukan di
banyak negara untuk mensahkan kesewenang-wenangan (arbitrary detention) pengingkaran terhadap prinsip free and fair trial. Laporan terbaru dari Amnesty Internasional menyatakan bahwa penggunaan siksaan dalam proses
interogasi terhadap orang yang disangka teroris cenderung meningkat. Hal seperti inilah yang harus dihindari, karena
Tindak Pidana Terorisme harus diberantas karena alasan Hak Asasi Manusia,
sehingga pemberantasannya pun harus dilaksanakan dengan mengindahkan Hak Asasi
Manusia. Demikian menurut Munir,
bahwa memang secara nasional harus ada Undang-Undang yang mengatur soal
Terorisme, tapi dengan definisi yang jelas, tidak boleh justru melawan Hak
Asasi Manusia. Melawan Terorisme harus ditujukan bagi perlindungan Hak Asasi
Manusia, bukan sebaliknya membatasi dan melawan Hak Asasi Manusia. Dan yang
penting juga bagaimana ia tidak memberi ruang bagi legitimasi penyalahgunaan
kekuasaan.
sumber :http://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme
.
0 komentar:
Posting Komentar